SEJARAH DESA

Ada banyak Versi mengenai asal mula Desa Longkeyang, beberapa sesepuh menceritakan Longkeyang berasal dari kata Lo sejenis pohon ara atau Loa (ficus glomerata) yang banyak tumbuh di sebuah sungai kecil bernama “Kali Keyang” dinamakan demikian sebab jika musim hujan maka sungai tersebut akan tampak seperti melayang ( Kleyang – Kleyang ) diatas atap rumah jika dilihat dari bukit barat desa sehingga disebut desa LO – NG – KEYANG.

Pada versi lain disebutkan bahwa Long berasal dari kata Kalong yang berarti berkurang (bahasa Jawa : tidak dimaksudkan Hewan Kalong/sejenis kelelawar besar) dan Kleyang artinya melayang barang siapa yang masuk wilayah ini dengan angkuh dan berniat jahat maka berkurang dan melayang kekuatannya.

Jika menurut sejarah masa lalu maka ada sebuah istiadat yang telah lama ditinggalkan adalah UJUNGAN yaitu keharusan bagi siapapun yang baru pertama kali memasuki desa tersebut maka harus melakukan ritual adu kaki yang di pukul dengan bambu sekeras mungkin, jika bambu tersebut patah atau pecah maka menandakan orang tersebut bukanlah orang jahat dan boleh memasuki desa, tapi orang tersebut berniat jahat maka sesakti apapun pasti berkurang atau Kalong dan kleyang kasektene seketika itu menjadi orang biasa dan dijamin patah kakinya serta dilarang memasuki desa, Untuk melakukan ritual tersebut harus dilakukan oleh sesepuh desa yang juga sakti dan mumpuni, meski Ilmu tersebut sudah punah namun cerita itu masih ada.

Sebagai contoh adalah ada seorang pemuda bernama Sumadhi yang datang dari desa Pagelaran untuk berkunjung ke rumah kakeknya di Longkeyang, ketika itu para pemuda antar desa setempat belum saling mengenal maka dia harus menjalani UJUNGAN adapun prosesnya adalah sebagai berikut :

Pertama-tama Kakinya diletakkan diatas dua buah batu, kemudian batu pertama digunakan untuk menyanggga mata kaki dan batu kedua diletakan di bawah tulang persendian dengkul sehingga bagian tengah kaki yaitu tulang kering mudah untuk dipatahkan sebab tidak ada penyangganya, setelah itu sesepuh desa membaca mantra tertentu dan mengambil tongkat bambu sebesar lengan anak – anak kemudian dipukulkan ke kakinya dengan sekuat tenaga, jika bambunya yang patah atau pecah maka orang tersebut boleh lewat, tapi jika kakinya yang patah atau luka maka dia orang jahat dan tidak boleh lewat, tentu saja setelah disembuhkan oleh sesepuh desa dengan kesaktianya dapat sembuh seketika. Pada waktu itu Sumadhi lolos dan tidak mengalami cidera apapun sehingga dibiarkan lewat kerumah kakeknya lalu menikah dengan anak gadis Ki Lurah Cartiban dan menjadi Lurah Longkeyang dikemudian hari.

Menurut catatan beberapa tokoh sepuh yang diceritakan secara turun temurun dan arsip catatan didesa serta dihubungkan dengan riwayat atau legenda kejadian lampau dapat disimpulkan bahwa desa tersebut pernah mengalami beberapa zaman yaitu:
Para Pemimpin Babad Awal Desa:
1. Kyai Pelabuhan
2. Nyai Rantansari
3. Kyai Tengkurak
4. Singa Maruta
5. Kyai Polos

Generasi Pemimpin Zaman Kerajaan Islam sampai Modern:
6. Ki Ageng Natas Angin
7. Ki Ageng Lurah Longkeyang / Ki Belondho
8. Ki Lurah Minten
9. Ki Lurah salam
10. Ki Lurah jaya merta / Jaga Mertha
11. Ki Lurah Sutha Mertha

Lurah Zaman Belanda:
12. Ki Lurah Mertha Sutha
13. Ki Lurah Cartiban
14. Ki Lurah Wersan Katidjjah

Lurah Zaman Jepang dan Agresi Militer I:
15. Ki Lurah Ngali Sastro Pramudja
16. Ki Lurah Muharram
17. Ki Lurah Recchomb

Kades Zaman Kemerdekaan:
18. Sumadhi
19. Sumardjo
20. Ki Wakil Mulap

Kades Zaman Modern:
21. Edy Suwarto
22. Pjs. Suparto
23. Sunarto
24. Sunarto ( Periode Ke II )
25. Pjs. Musoleh
26. Sony Herdiyan Drayudjati

Perbatasan Majapahit – Padjajaran

Menurut Hikayat pada saat Rombongan Dyah Pitaloka putri kerajaan Pajajaran diantar ke Majapahit telah terjadi Peperangan di Lapangan Bubat yang mengakibatkan Gugurnya seluruh Rombongan terkecuali beberapa senapati yang berhasil meloloskan diri dari kepungan prajurit majapahit di antara yang lolos tersebut adalah Senapati Singa Maruta

Setelah berhari hari berjalan melalui darat akhirnya dia sampai di perbatasan wilayah kerajaan Majapahit – Pajajaran di sebuah desa bernama Ujung Negoro ( di wilayah Kec.Kesesi – Kab. Pekalongan )

Kemudian dia melanjutkan perjalanan sampai di desa Longkeyang ( Kec. Bodeh – Kab. Pemalang ) dan disebut sebut sebagai salah satu sesepuh desa itu.

Istilah Longkeyang Sendiri ada sebuah desa di Kab.Sumedang – Jawa Barat yang menggunakan nama Longkeyang

Ada beberapa indikasi yang mengarah bahwa wilayah tersebut merupakan perbatasan dua kerajaan besar dengan banyaknya istilah bahasa sunda yang terdapat di wilayah tersebut misalnya :

1. Sarangkadu = Sarang = tempat. Kadu = Durian ( sekarang masuk wilayah desa Longkeyang ) Yang jelas di wilayah tersebut masih terdapat Istilah Wong Pejajaran ( Orang Pajajaran ) hingga sekarang. Ada beberapa peninggalan Purba Berupa Gamelan Batu dan Cap Telapak Kaki yang sekarang sudah memprihatinkan akibat di jarah warga.

2. Desa Cikadu Kec. Watukumpul – Kab.Pemalang, berasal dari bahasa sunda Ci = air, Kadu = durian.

3. Desa Luragung Kec.Kandang serang memiliki nama yang sama dengan Luragung di wilayah Kuningan.

4. Pesahangan ( dari bahasa sunda, Pe = tempat, sahang = lada ) sekarang masuk wilayah desa Medayu Kec.Watukumpul.

5. Desa Bodas dari bahasa sunda = Putih ( di desa tersebut banyak tanah kaolin berwarna putih ) – Kec.Watukumpul Kab.Pemalang dan ada satu lagi desa Bodas disekitar Kec.Kalibening Kab. Banjarnegara yang berbatasan dengan Kab.Pekalongan.

6. Desa Cibiyuk Kec. Petarukan – Kab Pemalang dan masih banyak lagi.

Dengan demikian ada besar kemungkinan bahwa wilayah perbatasan antara kerajaan Pajajaran dan Majapahit wilayah utara terdapat di sekitar Kab. Pemalang dan Kab.Pekalongan
Rangkaian Keluarga Besar Di Kab.Pemalang dan Pekalongan serta Banjarnegara.

Desa Longkeyang tidak pernah bisa dipisahkan dari ketiga kabupaten tersebut sebab para leluhur mereka berasal dari sana, meski peranan daerah lain juga tidak kalah penting, seperti disebutkan bahwa salah satu tokoh di desa tersebut adalah seorang perwira zaman perang Diponegoro, yang ketika dia ditawan belanda maka para prajuritnya menyebar ke berbagai wilayah, salah satunya singgah di desa Longkeyang, akan tetapi dominasi keturunan dari Banjarnegara, Pekalongan Selatan dan Pemalang lebih banyak.

Rangkaian keluarga besar membentang di daerah Pemalang selatan dan sampai sekarang banyak yang menjabat sebagai Kepala Desa secara turun temurun meskipun melalui Pemilihan atau Kodrah Lurah yaitu:

A. Kecamatan Bantarbolang

1. Purana
2. Pedagung
3. Suru
4. Wanarata
5. Buaran
6. Karanganyar

B. Kecamatan Bodeh

1. Karangbrai
2. Kwasen
3. Pasir
4. Gunungbatu
5. Jatingarang
6. Longkeyang

C. Kecamatan Belik

1. Desa Kalisaleh
2. Desa Gombong

D. Kecamatan Watukumpul

1. Bodas
2. Pagelaran
3. Medayu
4. Cawet
5. Telagasana
6. Bongas
7. Tundagan
8. Jojogan
9. Majalangu
10. Majakerta
11. Cikadu

Untuk wilayah Pemalang utara baru ditemukan satu desa di Kecamatan Petarukan yaitu Desa Tegal Melati, yang diturunkan dari Seorang Jawara dimasa lalu bernama Sobrang Barang sedangkan di Kecamatan maupun desa lain tetap ada keluarga besar tersebut meski secara politis tidak banyak berperan.
Wilayah Kab.Banjarnegara bag.Utara

Kec. Kalibening dan sekitarnya

Kab.Pekalongan bag. selatan dan barat tersebar di bererapa wilayah seperti Desa Doro, Kajen, Linggo Asri, Kandangserang, Bubak, Loragung,Lambur, Bojongkoneng, Natawarih, Garung, Garung Wiyara, Paninggaran, Bodas Krikil,
Jawa – Barat

Kab. Subang : Desa Tegal Koneng Kec.Patok Beusi, adalah lebih dari 40% warganya berasal dari Desa Longkeyang
Kab.Ciamis, Pangandaran dan Banjar Patroman dibawah 2 %

Lampung Selatan : Desa Pugung Raharjo dan Kemiling Kec. Gunung Sugih – lebih dari 30 % warganya bersal dari Longkeyang
Bengkulu : Wilayah Sukaraja dibawah 2 %

Sumber

Sumber :

Moenawar Alm.
Edy Suwarto Alm.
H.M Yunus Alm.
Duryat Alm
Sudjo Marjuki
Sumaryo ( Bengkulu )
Sumitro
Calim
Sony Herdiyan Drayudjati